Terdakwa Emirsyah Satar Mantan Direktur Garuda Indonesia di Kambing Hitam kan

    Terdakwa Emirsyah Satar Mantan Direktur Garuda Indonesia di Kambing Hitam kan
    Monang Sagala, Kuasa Hukum eks Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya nebis in idem, sehingga dakwaan harus dinyatakan tidak dapat diterima

    JAKARTA - Monang Sagala, Kuasa Hukum eks Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya nebis in idem, sehingga dakwaan harus dinyatakan tidak dapat diterima.

    Demikian disampaikan Monang Sagala dalam nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan JPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (9/10/2023).

    Dalam eksepsi berjudul "Mencari Kambing Hitam", Monang menyebut hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menjadi dasar dakwaan telah dibuat secara melawan hukum dan menyesatkan. Sengaja dibuat untuk "meng-kambing hitam-kan" kliennya.

    "Bahwa berdasarkan terjemahan resmi KUHP, pendapat para ahli di negeri Belanda dan ahli di Indonesia termasuk Prof. Juajir Sumardi, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin, kata “perbuatan” dalam Pasal 76 KUHP yang mengatur tentang nebis in idem harus diartikan sebagai perbuatan material bukan perbuatan pidana, sehingga perubahan atau penambahan pasal yang dilanggar tidak serta merta menjadi perkara baru, harus diteliti perbuatan materialnya, " ungkap Monang.

    Ia mengatakan, rangkaian perbuatan material terdakwa dalam dakwaan pada saat ini sama persis dengan rangkaian perbuatan material dalam dakwaan perkara yang pertama hasil penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    "Misalnya tentang perbuatan terdakwa membocorkan fleet plan sebagaimana pernah dijelaskan oleh Jaksa Agung. Uraian perbuatan tentang fleet plan tersebut sudah pernah diuraikan dalam dakwaan perkara terdakwa yang pertama, " katanya.

    "Kemudian peristiwa yang didakwakan saat ini juga sama persis dengan peristiwa yang didakwakan pada saat terdakwa menjalani persidangan yang pertama, yaitu peristiwa pengadaan Pesawat Bombardier CJ-1000 dan ATR 72-600 di PT. Garuda Indonesia. Peristiwa tersebut sudah pernah diperiksa pada dalam persidangan tahun 2020-2021, " sambung Monang.

    Ia memaparkan bahwa dalam putusan perkara terdakwa yang pertama, berdasarkan Pasal 18 UU Tipikor, kliennya sudah pernah dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar SGD 2, 1 juta, karena dinyatakan terbukti merugikan negara.

    "Dalam perkara saat ini dakwaan JPU mendakwa ulang terdakwa dengan Pasal 18 UU Tipikor. Artinya bukan cuma perbuatan dan peristiwanya yang sama, tapi penerapan pasalnya juga diulang lagi, " sebut Monang.

    Masih menurut Monang, bahwa dalam putusan perkara terdakwa yang pertama, kliennya telah dihukum menggunakan Pasal 65 ayat (1) tentang perbarengan (concursus realis). Artinya secara hukum seharusnya seluruh hukuman terhadap terdakwa dalam peristiwa pengadaan Pesawat Bombardier dan ATR 72-600 sudah terserap (absoprsi), sehingga terdakwa tidak boleh dihukum lagi.

    "Bahwa dakwaan saat ini bertumpu pada hasil audit BPKP tahun 2022. Hasil Audit tersebut menghitung kerugian negara dengan cara mengurangi pendapatan bersih dengan biaya. Hasil sudit BPKP tersebut mengesampingkan fakta bahwa BUMN memiliki fungsi sosial bukan mencari keuntungan semata, " terangnya.

    Monang mencontohkan dalam proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, pada awal bulan Oktober 2023 Presiden RI menerangkan bahwa “tak akan balik modal sampai kiamat”.

    "Contoh lain kapal feri di daerah terpencil yang sering merugi, namun harus tetap dilanjutkan karena ada tujuan sosial. Demikian juga dengan pesawat Bombardier dan ATR 72-600 seluruhnya adalah pesawat yang melayani rute khusus untuk mendukung program pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor: 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, " urainya.

    Monang juga menyebutkan dukungan PT. Garuda Indonesia terhadap program pemerintah tersebut (MP3EI) telah disetujui oleh Dewan Komisaris dan Menteri BUMN pada saat itu.

    "Hasil audit BPKP juga bertentangan dengan putusan PKPU Garuda dan bertentangan dengan Laporan Keuangan Garuda tahun 2013 dan 2014 yang telah disahkan oleh Dewan Komisaris, " katanya.

    Berdasarkan uraian tersebut, Tim Penasihat Hukum Emilsyah memohon kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara agar menerima eksepsi untuk seluruhnya. Menyatakan dakwaan batal demi hukum serta memulihkan dan merehabilitasi nama baik, harkat dan martabat kliennya.

    "Kami yakin dan percaya Yang Mulia Majelis Hakim perkara a aquo tidak akan berusaha untuk mengkambing hitamkan klien kami sang penyelamat PT. Garuda Indonesia, " pungkasnya.

    Sebelumnya, Emirsyah Satar telah divonis bersalah terkait kasus suap pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda Indonesia, Boeing, Bombardier CJ-100 dan ATR 72-600.  

    Dalam perkara itu, Emirsyah dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 8 Mei 2020 lalu. (Red)

    jakarta
    Suhendi

    Suhendi

    Artikel Sebelumnya

    SMA Al Fityan Boarding School Bogor Sukses...

    Artikel Berikutnya

    Dalam Rangka HUT Humas Polri ke -72, Bidhumas...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Nagari TV, TVnya Nagari!
    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Dansat Brimob Polda Banten Ikuti Program Beyond Trust Presisi Triwulan IV
    Hendri Kampai: Indonesia Hanya Butuh Pemimpin Jujur yang Berani
    Polsek Pondok Gede Hadir di Peringatan Maulid Nabi, Jaga Kondusivitas Jelang Pilkada 2024 di Pondok Gede

    Ikuti Kami